Wacana

Minggu, 17 Mei 2015

Arab Pegon: Model Pembelajaran Kitab Kuning

Salah satu tradisi agung di Indonesia adalah praktik pengajaran agama Islam di pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini di Indonesia dikenal sebagai kitab kuning yang merupakan produk pemikiran-pemikiran para Ulama pada masa lalu.[1]
Pembelajaran kitab kuning di Pesantren adalah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan tradisional yakni menggunakan arab pegon sebagai bahasa sasaran dalam  menerjemah secara menggantung pada bahasa Arab (bahasa sumber)[2].
Martin Van Bruinessen menyebut kegiatan kajian kritis model terjemahan arab pegon  dalam upaya pemahaman kitab kuning di pesantren tradisional sebagai terjemahan jenggotan (bearded translation).[3]
Penerjemahan arab pegon adalah kearifan lokal dan tradisi kajian terhadap teks keislaman abad pertengahan dalam sistem pendidikan pesantren tradisional di Jawa yang sampai sekarang tetap eksis. Terjemahan arab pegon adalah murni karya ulama Jawa yang dikembangkan berdasarkan kekhasan kitab kuning dan karakteristik pembelajar yang jauh dari lingkungan bahasa Arab komunikasi lisan. Secara konseptual, istilah kearifan lokal adalah pengetahuan, pandangan, dan sikap yang berkembang secara unik di satu tempat sebagai reaksi terhadap kondisi lokal yang beragam dan berasal dari akumulasi pengalaman praktis yang berakar oleh waktu. Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sebentuk sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis.
Dalam kegiatan penerjemahan arab pegon, para santri di bawah bimbingan seorang guru mengkaji kitab kuning dengan cara menerjemahkan setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa. Hasil terjemahannya ditulis di bawah setiap kata bahasa Arab yang diterjemahkan dengan menggunakan huruf Arab pegon. Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi (sebutan untuk wilayah Yogyakarta, Jawa Tengan dan Jawa Timur) atau Ngalogat (sebutan untuk wilayah Jawa barat) dalam menerjemahkan dan memberi makna pada kitab kuning.[4]
Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera dan Malaysia disebut dengan aksara Arab-Melayu5. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini merupakan tulisan dengan huruf Arab dengan menggunakan bahasa lokal. Dikatakan bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja tetapi juga menggunakan Bahasa Sunda seperti yang terjadi di Jawa Barat, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera menggunakan Bahasa Melayu. 6
Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama sebagai upaya menyebarkan Agama Islam.7 Selain itu aksara Arab ini juga digunakan dalam kesusasteraan Indonesia8 Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat, dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat agama Islam,9 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon.10Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tetapi ternyata mencakup Nusantara, bagi mereka yang mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini, bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.
Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di Pondok Pesantren terutama yang masih kuat kultur masyarakatnyasampai saat ini masih tetap dipertahankan. Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab.11
Penerapan penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam pengajarannya dipaparkan melalui contoh sebagai berikut:


(al-hamdu utawi sakabehe jinise puji iku li-llâhi tetep kagungane Allah)
Al-hamdu adalah kata yang menduduki fungsi mubtada’ (subjek untuk kalimat verbal). Terjemahannya adalah utawi sakabehe jinise puji. Kata utawi dilambangkan dengan م dipakai untuk menunjukkan mubtada’ (subjek). Kata sakabehe jinise untuk menunjukkan al listighrâq al-jins, yaitu al yang mempunyai makna meliputi. Sedangkan kata puji terjemahan kata hamdu. Iku yang dilambangkan dengan خ yang ditulis di atas kata lillahi untuk menunjukkan bahwa kata lillâhi berkedudukan sebagai khabar. Kata tetep adalah terjemahan kata istaqorro yang harus dibuang dalam kalimat tersebut sebagai ta‘alluq jâr wa majrur (keterkaitan fungsi jâr dan majrûr). Sedangkan kata kagungane (milik) adalah terjemahan kata li dan Allah terjemahan dari Allohi .
Contoh penerjemahan arab pegon di atas menggabungkan tiga unsur yakni unsur linguistik, unsur non linguistik serta kosa kata. Kata utawi dan iku adalah terjemahan unsur linguistik, jinise puji (yang dalam pengertian pesantren ada empat macam puji, yaitu dua untuk Tuhan dan dua untuk makhluk-Nya) adalah terjemahan unsur non linguistik sedangkan puji dan Allah adalah terjemahan kosa kata.12





[1] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 17
[2] Ibid. hal 142
[3] Ibid. Hal 142
[4] Irhamni, “Kearifan Lokal Pendidikan Pesantren Tradisional Di Jawa:  Kajian Atas Praktik Penerjemahan Jenggotan”, Jurnal Studi Keislaman Ulumuna. Vol. XV. No. 1. (Mataram: Institut Agama Islam Negeri Mataram). 2011. Hal. 95
5 Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003
6Amirul Ulum, Huruf Pegon Pemersatu Ulama Nusantara, 2013. Http//www.nu.online.com.diakses pada 1 Juni 2014
   7 Noriah Muhammed, Aksara Jawa:Makna Dan Fungsi, Majalah Sari. (Kuala Lumpur: Universiti   Kebangsaan Malaysia. 2001) hal. 121-122
8 Fauziyah, Keberadaan Aksara Arab Dalam Sastra Melayu, Karya Ilmiyah. (Medan: Fakulatas  Sastra Univ. Sumatra Utara. 2005) hal. 8
9 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994) hal. 20.
10 Abdul chaer, Linguistik umum (Jakarta Rineka Cipta, 1994) hal. 89.
12 Aly Abubkar Baslamah, Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren), Majalah Pesantren, Nomor Perdana, 1984, h. 61-69.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta:LP3ES 1994) hal 10-11

1 komentar:

  1. Salam

    Sebelum membeli/memesan, bolehkah saya melihat dulu daftar kitab kuning dengan terjemahan kata perkata yang Bapak/Ibu miliki?

    Terima kasih.
    Agus Salim
    tuhansayangiaku@gmail.com

    BalasHapus